Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan per Februari 2022, tingkat pengangguran Indonesia tercatat sebesar 5,83 persen dari total penduduk usia kerja 208,54 juta orang.
Dari 5,83 persen tersebut hampir 14 persen adalah penduduk dengan lulusan jenjang diploma dan sarjana (S1).
Alfeus Nehemia, Head of Human Capital dari PT Praweda Ciptakarsa Informatika mengatakan hal tersebut merupakan sebuah ironi.
“Penduduk yang notabene mengenyam pendidikan tinggi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak justru banyak dari mereka menganggur,” ujarnya seperti dikutip di laman resmi Universitas Airlangga (UNAIR) pada Selasa, 21 Juni 2022.
Alfeus menerangkan ada sejumlah alasan mengapa hal itu bisa terjadi.
Menurut dia, salah satunya adalah karena keterampilan yang dimiliki lulusan sarjan atau diploma tak sesuai dengan kebutuhan perusahaan atau industri.
Sebagai seorang yang bertugas meng-hire karyawan, Alfeus mengatakan kerap kali kesusahan mencari orang yang sesuai dengan kualifikasi yang diharapkan.
Sejumlah pelamar menawarkan keterampilan yang tidak relevan atau tidak dibutuhkan oleh perusahaan saat ini.
“Kalau kalian bilang susah ya cari kerja, kami sebagai perusahaan juga bilang, susah ya cari karyawan.
Akibat adanya mismatch antara keterampilan yang dibutuhkan dan yang tersedia,” ungkap alumni Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNAIR itu.
Ketika lulus dari perguruan tinggi bergengsi, kata Afeus, tak jarang seseorang memiliki ekspektasi tinggi mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi dengan mudah.
Alfeus mengatakan hal ini membuat beberapa lulusan dari perguruan tinggi bergengsi terlalu percaya diri.
Padahal, belum tentu memiliki kompetensi yang layak.
“Perusahaan nggak hanya melihat almamater sekolahmu saja, namun kita juga melihat kompetensinya seperti apa, layak tidak kita bayar tinggi,” jelasnya.
Selain itu, sulitnya mendapat pekerjaan juga karena terbatasnya lapangan pekerjaan.
Alfeus mengatakan kondisi itu diperburuk dengan adanya pandemi Covid-19 yang menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.
Hal itu menyebabkan jumlah pengangguran tak sebanding dengan lapangan kerja yang ada.
“Hampir 29,12 juta penduduk usia kerja terdampak pandemi.
Mungkin sudah sedikit recover, namun perlu diingat lulusan baru yang menunggu mendapatkan pekerjaan selalu bertambah tiap tahunnya,” ungkapnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, tantangan generasi muda pasca-pandemi untuk mencari kerja lebih berat.
“Karena harus bersaing dengan ribuan orang untuk memperebutkan lapangan kerja yang semakin sedikit,” terangnya.